Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Sumber
Agaknya, bagi banyak di antara kita, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa tanggal 10 November merupakan salah satu di antara berbagai hari bersejarah yang teramat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, tanggal 10 November telah dinyatakan oleh bangsa kita sebagai Hari Pahlawan. Di zaman Sukarno-Hatta, hari itu diperingati secara nasional (artinya : di mana-mana, di seluruh negeri) sebagai Hari Besar yang dirayakan secara khidmat, dan dengan rasa kebanggaan yang besar.
Pada kurun waktu itu, peringatan
Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa bukan saja untuk
mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang – yang tak terhitung
jumlahnya _ dalam perjuangan bersama bagi tegaknya Republik Indonesia
yang baru saja diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang
mendarat di pulau Jawa, dan pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret. Sejak itu, Indonesia diduduki
oleh fasisme Jepang. Dengan dijatuhkannya bom atom di Jepang (Hiroshima
dan Nagasaki) dalam bulan Agustus 1945 oleh Amerika Serikat, maka pada
tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada
Sekutu.
Selama pendudukan Jepang, di
tengah-tengah penderitaan rakyat yang disebabkan oleh pendudukan tentara
Jepang dan perang, di kalangan banyak golongan lahir semangat
anti-Barat atau anti-kolonialisme, di samping perasaan anti-Jepang
(terutama menjelang tahun 1945). Dalam rangka persiapan untuk menghadapi
segala kemungkinan menghadapi Sekutu, pemerintah Jepang telah
menggunakan berbagai cara dan akal untuk _merangkul_ rakyat Indonesia,
untuk menghadapi Sekutu. Peta (Pembela Tanah Air) telah dibentuk, dan
Jepang juga menjanjikan _kemerdekaan_ kepada bangsa Indonesia.
Pemimpin-pemimpin Indonesia (antara lain Sukarno, Hatta dll) telah
menggunakan berbagai kesempatan waktu itu untuk menyusun kekuatan, demi
cita-cita untuk kemerdekaan bangsa.
Dengan kekalahan Jepang menghadapi
Sekutu, maka kemerdekaan bangsa Indonesia telah diproklamasikan tanggal
17 Agustus, yaitu ketika pasukan pendudukan Jepang masih belum dilucuti
oleh Sekutu. Sejak itulah terjadi berbagai gerakan rakyat untuk melucuti
senjata pasukan Jepang, sehingga terjadi pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar-kobar itulah maka pada tanggal 15 September 1945
mendarat tentara Inggris di Jakarta dan pada tanggal 25 Oktober juga di
Surabaya. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan
atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang,
membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, dan memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Tetapi, di samping itu, tentara Inggris juga
memikul tugas (secara rahasia) untuk mengembalikan Indonesia kepada
pemerintah Belanda sebagai jajahannya.
Perkembangan sejak mendaratnya tentara
Inngris di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kehadirannya
(atas nama Sekutu) itu telah diboncengi oleh rencana fihak Belanda untuk
menjajah kembali Indonesia. Tentara Inggris (Sekutu) yang datang ke
Indonesia juga mengikutkan NICA (Netherlands Indies Civil
Adminsitration). Kenyataan inilah yang meledakkan kemarahan rakyat
Indonesia di mana-mana. Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda
Merah-Putih-Biru di hotel Yamato telah melahirkan _Insiden Tunjungan_,
yang menyundut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan
Inggris dengan beraneka-ragam badan perjuangan yang dibentuk oleh
rakyat.
Singkatnya, bentrokan-bentrokan
bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, makin memuncak dengan
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk
Jawa Timur, pada tanggal 30 Oktober. Karena terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby itu, maka penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh)
mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan
orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya
di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan
di atas. Batas ultimatum adalah jam 6 pagi tanggal 10 November 1945.
SERANGAN BESAR-BESARAN TANGGAL 10 NOVEMBER
Adalah wajar sekali bahwa ultimatum yang
semacam itu telah ditolak. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah
berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan
Rakyat sebagai alat negara juga telah dibentuk. Di samping itu, banyak
sekali organisasi-organisasi perjuangan telah dilahirkan oleh
beraneka-ragam golongan dalam masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,
mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai
manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk
melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali
kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di
Indonesia).
Pada tanggal 10 November pagi, tentara
Inggris mulai melancarkan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan
mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang dan sejumlah
besar kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom,
ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan
penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi
yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di
seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Fihak Inggris menduga bahwa perlawanan
rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja,
dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat
terbang, kapal perang, tank dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Rupanya, Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian menjadi TNI) dianggap
enteng, apalagi badan-badan perjuangan bersenjata (laskar-laskar dll)
yang banyak dibentuk oleh rakyat. Tetapi, diluar dugaan fihak Inggris,
ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke
hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada
permulaannya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin
hari makin teratur. Ternyata, pertempuran besar-besaran ini memakan
waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh ditangan fihak Inggris.
KEAGUNGAN ARTI 10 NOVEMBER
Kebesaran arti pertempuran Surabaya,
yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena
begitu banyaknya pahlawan – baik yang dikenal maupun tidak di kenal _
yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya
karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan
lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga
terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu.
Pertempuran Surabaya telah dapat memobilisasi rakyat banyak untuk ikut
serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh
bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi atau
_menyelundupkan_ NICA ke wilayah Indonesia.
Pertempuran Surabaya juga telah
menyebarkan, ke daerah-daerah yang paling jauh di Indonesia, kesadaran
republiken, patriotisme yang tinggi, solidaritas seperjuangan di
kalangan berbagai suku, agama, keturunan. P_ngaruhnya bagaikan nyala api
besar yang membakar semangat perlawanan sehingga muncul juga
pertempuran di banyak tempat di Indonesia. (Untuk menyebut sekedar
sejumlah kecil di antaranya : di Jakarta pada tanggal 18 November, di
Semarang tgl 18 November, di Riau tanggal 18 November, di Ambarawa
tanggal 21 November, di pulau Bangka 21 November, di Brastagi tanggal 25
November, di Bandung tanggal 6 Desember, di Medan 6 Desember, di Bogor
tanggal 6 Desember).
Ciri utama berbagai perjuangan yang
meletus di banyak kota dan daerah di Indonesia adalah bahwa
peristiwa-peristiwa itu mendapat dukungan besar moral dan material dari
rakyat, yang berarti juga telah menggugah rasa kebersamaan patriotik
dalam perjuangan, dan dalam skala yang luas. Dalam kaitan ini, patut
dikenang bersama betapa banyaknya dapur-dapur umum yang telah
diselenggarakan oleh rakyat di mana-mana bagi mereka yang berjuang,
tanpa imbalan apa pun juga. Juga, betapa banyaknya rombongan
pemuda-pemuda yang berbondong-bondong menuju daerah pertempuran.
Artinya, perjuangan melawan tentara
Inggris (dan NICA) telah menggugah semangat patriotisme yang
lintas-suku, lintas-agama, lintas-keturunan ras, dan lintas-aliran
politik. Dengan semangat itu jugalah, rakyat Indonesia kemudian
meneruskan, antara tahun 1945 sampai 1949, perjuangan melawan Belanda,
sesudah tentara Sekutu (Inggris) meninggalkan Indonesia.Sumber