Semua
ini berpangkal dari kesalahpahaman mereka tentang hakekat Nabi Khidir.
Terlebih lagi orang-orang ekstrim dari kalangan pengikut tarekat dan
tasawwuf yang membumbui berbagai macam dongeng dan cerita bohong tentang
Khidir. Sebagian di antara mereka, ada yang mengaku telah bertemu
dengan Khidir, berbicara dengannya dan mendapat wasiat dan ilham
darinya. Misalnya di tanah air kita ini, ada sebagian orang yang mengaku
telah bertemu dengan Khidir dan mengambil bacaan-bacaan shalawat,
wirid-wirid dan dzikir dari Khidir secara langsung, tanpa perantara,
atau melalui mimpi. Bahkan ada pula yang mengaku dialah Nabi Khidir
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua ini adalah keyakinan batil!!
Mengenai
hidup atau wafatnya Khidir, orang-orang berselisih. Ada yang menyatakan
dia masih hidup. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa dia telah lama
meninggal berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan Sunnah. Ini
merupakan pendapat para Ahli Hadits. Karena, tidak ada satupun nash yang
shahih, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dijadikan pegangan
bahwa Khidir masih hidup. Bahkan banyak dalil yang menyatakan ia telah
meninggal.
Jika
kita mengadakan riset ilmiah, maka kita akan mendapatkan Al-Qur’an dan
Sunnah menjelaskan bahwa Nabi Khidhir telah meninggal dunia.
Al-Allamah Ibnul Jauziy-rahimahullah-
berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Khidir sudah tidak ada di
dunia adalah empat perkara; Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ (kesepakatan)
ulama’ muhaqqiqin, dan dalil aqliy”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 69)]
Di antaranya dalil-dalil itu:
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُو
“Kami
tidak menjadikan kehidupan abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal”.
(QS.Al-Anbiya`: 34)
Imam
Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzy-rahimahullah- berkata, “Khidhir,
jika dia itu seorang manusia, maka sungguh ia telah masuk dalam keumuman
(ayat) ini tanpa ada keraguan. Seorang tidak boleh mengkhususkannya
dari keumuman itu, kecuali dengan dalil yang shahih”. [Lihat Al-Bidayah
wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif]
Kemudian
Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir-rahimahullah- menguatkan ucapan Ibnul
Jauziy tadi seraya berkata, “Asalnya memang tidak boleh mengkhususkannya
sampai dalil telah nyata. Sementara tidak disebutkan adanya dalil yang
mengkhususkannya dari seorang yang ma’shum yang wajib diterima”. [Lihat
Al-Bidayah wa An-Nihayah (1/334), cet. Maktabah Al-Ma’arif ]
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَإِذْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا ءَاتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ
وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ
لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ ءَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ
عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا
مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
“Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian
datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu,
niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”.
Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku
terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab,“Kami mengakui”. Allah
berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi
saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Al-Imran: 81)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata
saat menafsirkan ayat ini, “Allah tidak mengutus seorang nabi di antara
para nabi, kecuali Dia mengambil perjanjian padanya. Jika Allah mengutus
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang nabi itu hidup-, maka ia
(nabi itu) betul-betul harus beriman kepada beliau, dan menolongnya”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/565)]
Jika
Khidir masih hidup, tentunya ia tidak boleh menunda-nunda keimanannya
kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ia harus mengikuti
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, berjihad bersamanya dan
menyampaikan dakwah beliau. Ini merupakan perjanjian Allah kepada
seluruh para nabi dan rasul sebagaimana yang tersebut dalam QS. Al-Imran
ayat 81 di atas.
Ini
menunjukkan kepada kita bahwa wajib bagi seorang nabi dan rasul untuk
menolong dan beriman kepada Rasulullah Muhammad -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-. Bahkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menegaskan
bahwa andaikan Nabi Musa -’alaihis salam-, yang jauh lebih mulia dari
Nabi Khidir masih hidup, maka ia harus mengikuti Nabi Muhammad
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- .
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ
“Andaikan Musa hidup, tentunya tidak mungkin baginya, kecuali harus mengikutiku”.
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/387), Ad-Darimiy dalam As-Sunan (1/115),
Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (5/2), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan
Al-Ilm (2/42), dan lainnya. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (1589)]
Sudah
dimaklumi, tidak ada satu pun riwayat shahih ataupun hasan -yang dapat
membuat jiwa tenang- menyebutkan bahwa Khidir pernah bertemu dengan
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula pernah ikut
bersama Rasulullah dalam berbagai peperangan.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ الْيَوْمَ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ حَيَّةٌ يَوْمَئِذٍ
“Tidak ada satu jiwa pun yang hidup pada hari ini telah lewat 100 tahun, sedang ia hidup pada hari itu”. [HR. Muslim dalam Shahih- nya (4/1966)]
Allamah Ibnu Baththal-rahimahullah-
berkata menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya memaksudkan bahwa dalam jangka waktu ini suatu generasi
telah punah”. [Lihat Fathul Bari (1/256) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar]
Al-Imam Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah-
berkata dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/41), “Sesungguhnya hadits
ini termasuk dalil yang memutuskan tentang kematian Nabi Khidir
sekarang”.
Andaikan
Nabi Khidir masih hidup, tentu ia akan datang kepada Nabi Muhammad
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk menyatakan keislamannya dan akan
menolong beliau dalam berdakwah dan berperang membela Islam. Tidak
mungkin ada seorang Nabi pun yang masih hidup, lantas tidak datang
kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk berbai’at, menyatakan
keislamannya, dan berjihad bersama beliau.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكَ هَذِهِ الْعِصَابَةُ لاَ تُعْبَدْ فِيْ اْلأَرْضِ
“Ya Allah, jika pasukan ini hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad, Bab: Al-Imdad bil Mala’ikah fi Ghazwah Badr (3/1383)]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harraniy-rahimahullah-
berkata ketika ditanya tentang hadits di atas, “Andaikan Khidir masih
hidup, maka wajib baginya untuk datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-, dan berjihad di hadapannya, serta belajar dari beliau (Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam-). Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda dalam perang Badar, “Ya Allah, jika pasukan ini
hancur, maka engkau tidak akan disembah lagi dimuka bumi”. Pasukan kaum
muslimin waktu itu sebanyak 313 personil. Telah dikenal nama mereka,
nama orang tua, dan qabilah mereka. Lantas dimanakah Khidir pada saat
itu?” [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 68)]
Adapun
dalil-dalil berupa hadits-hadits marfu’, dan mauquf yang menyebutkan
tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini, maka hadits-hadits itu
lemah, bahkan palsu, tidak bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam
menetapkan hukum, apalagi keyakinan (aqidah).
Al-Imam Ibrahim bin Ishaq Al-Harbiy -rahimahullah-
berkata, “Tidak ada yang menyebarkan berita-berita seperti ini (yakni
tentang hidupnya Khidir) di antara manusia, kecuali setan”. [Lihat
Al-Maudhu’at (1/199) dan Ruh Al-Ma’aniy (15/321) karya Al-Alusiy]
Ibnul Munadiy berkata,“Aku
telah mengadakan riset tentang hidupnya Khidir, apakah ia masih ada
ataukah tidak, maka tiba-tiba kebanyakan orang-orang bodoh tertipu bahwa
ia masih hidup karena hadits-hadits (lemah) yang dirwayatkan dalam hal
tersebut”. [Lihat Az-Zahr (hal. 38)]
Ibnul Jauziy
setelah membawakan beberapa hadits tentang hidupnya Nabi Khidir
berkata, “Hadits-hadits ini adalah batil”. [Lihat Al-Maudhu’at
(1/195-197)]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah-rahimahullah-
berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan di dalamnya tentang Khidir, dan
hidupnya, semuanya adalah dusta (palsu). Tidak shahih satu hadits pun
tentang hidupnya Nabi Khidir”. [Lihat Al-Manar Al-Munif (hal. 67)]
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata
setelah membawakan hadits dan kisah tentang hidupnya Khidir,
“Riwayat-riwayat, dan hikayat-hikayat ini merupakan sandaran orang yang
berpendapat tentang hidupnya Nabi Khidir sampai hari ini. Semua
hadits-hadits yang marfu’ ini adalah dha’if jiddan (lemah sekali), tidak
bisa dijadikan hujjah dalam urusan agama”. [Lihat Al-Bidayah wa
An-Nihayah (1/334)]
Abul Khaththab Ibnu Dihyah Al-Andalusiy-rahimahullah-
berkata, “Tidak terbukti tentang pertemuan Nabi Khidir bersama dengan
seorang nabi, kecuali bersama Musa, sebagaimana Allah -Ta’ala- telah
kisahkan tentang berita keduanya. Semua berita tentang hidupnya tak ada
yang shahih sedikitpun berdasarkan kesepakatan para penukil hadits (ahli
hadits). Hal itu hanyalah disebutkan oleh orang yang meriwayatkan
berita tersebut, dan tidak menyebutkan penyakitnya, entah karena ia
tidak mengetahuinya, atau karena jelasnya penyakit berita tersebut di
sisi para ahli hadits”. [Lihat Az-Zahr An-Nadhir (hal. 32)]
Inilah beberapa dalil, dan komentar para ulama, semuanya menyatakan Nabi Khidir tidak hidup lagi atau sudah meninggal. Nyatalah
kebatilan orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidir untuk menerima
ajaran di luar ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallahu
‘alaihi wasallam-. Bagaimana
mungkin Khidir mengajarkan suatu ajaran di luar syari’at Nabi Muhammad
-Shalallahu ‘alaihi wasallam-??! Itu pasti bukan Nabi Khidir, tapi setan
yang ingin menyesatkan manusia.